Partai yang Oportunis

Pertarungan untuk merebut posisi ketua umum partai Golkar telah berakhir. Setelah melalui musyawarah yang sempat ricuh, Aburizal Bakrie akhirnya terpilih secara aklamasi dengan mengalahkan tiga kandidat lainnya.

Kemenangan tersebut diperoleh Ical (panggilan akrab Aburizal Bakrie) dalam Munas VIII partai Golkar beberapa hari yang lalu yang berlangsung di Pekanbaru, Riau. Ical berhasil memperoleh dukungan sebanyak 296 suara dan mengungguli pesaing terberatnya, yaitu Surya Paloh yang hanya memperoleh 240 suara dari total 536 suara yang diperebutkan. Sedangkan dua kandidat lainnya, yaitu Tommy Soeharto dan Yuddy Chrisnandi, sama sekali tidak mendapatkan suara.

Sebelum Munas berlangsung, banyak yang menduga dan yakin bahwa Ical akan terpilih sebagai ketua Golkar. Hal itu didasarkan atas kelebihan Ical yang secara awam dapat dipandang lebih unggul dari pada kandidat lainnya.
Selain memiliki modal materi (kekayaan) yang melimpah, Ical juga memiliki pengalaman organisasi yang luas. Beberapa kali dia menjadi petinggi pada organisasi besar dalam jangka waktu yang cukup lama, seperti misalnya ketua Kadin selama 10 tahun, ketua Persatuan Insinyur Indonesia selama 10 tahun, atau menjabat sebagai Menkokesra dalam kabinet pemerintahan SBY periode 2004-2009. Pengalaman dalam memimpin kerajaan bisnisnya yang meliputi bidang properti, asuransi, dan telekomunikasi, juga menjadi sebuah nilai tambah tersendiri.

Dengan naiknya Ical sebagai ketua umum Golkar, nampaknya partai berlambang beringin itu tetap akan berkoalisi dengan pemerintah. Hal tersebut didasarkan atas kedekatan Ical terhadap SBY dan pernyataan dia sendiri di berbagai media yang mengatakan bahwa pilihan menjadikan Golkar sebagai partai oposisi adalah sempit. Dalam kesempatan lain, dia juga pernah menyatakan akan membawa Golkar bergabung dengan partai pemenang Pemilu (Kompas, 9/10).

Memang, sebelum Munas berlangsung, sudah ada asumsi dari internal Golkar bahwa Ical sangat “identik” dengan koalisi, dan Surya Paloh lebih menyukai oposisi. Dengan terpilihnya Ical, itu berarti sebagian besar kader Golkar memang menginginkan partainya berkoalisi dengan pemerintah. Pertanyaannya adalah, bagaimana masa depan Golkar selanjutnya?

Menurut penulis, ada satu hal yang bisa diramalkan dari sekarang, yaitu Golkar akan kehilangan simpati publik. Dengan menjadi partai pendukung pemerintah, maka rakyat akan memandang Golkar hanya berorientasi kepada kekuasaan semata, sebab takut menjadi partai oposisi yang memiliki konsekuensi miskin kekuasaan.

Padahal pasca kemenangan Demokrat dan SBY pada Pemilu kemarin, banyak pihak yang menginginkan agar Golkar menjadi pihak oposisi untuk melakukan kontrol terhadap kebijakan pemerintah. Namun nyatanya hal tersebut tidak terjadi, sehingga pemerintah akan leluasa menjalankan program-programnya yang belum tentu memihak dan menguntungkan rakyat. Pada akhirnya hal ini akan membuat Golkar dianggap sebagai pengemis kekuasaan yang pragmatis dan oportunis.

Jika analisis ini benar, maka keinginan Golkar untuk meraih kemenangan dalam pemilu 2014 hanya akan menjadi sebuah bunga tidur belaka. Dengan dilengkapi kader yang materialistis dan mudah dimainkan dengan politik uang, Golkar sedang menuju akhir dari proses kehancurannya.

Leave a comment