Berlapang Dada Untuk Kemajuan Bangsa

Pesta Demokrasi sudah hampir usai. Proses yang diawali dengan gegap gempita kampanye yang begitu meriah, akhirnya sudah melewati acara puncak, yaitu pencontrengan kertas suara yang dilakukan beberapa hari yang lalu.

Saat ini kita tinggal menunggu saja pengumuman resmi dari KPU mengenai siapa pasangan Capres-Cawapres yang meraih suara terbanyak. Pasangan itulah yang nantinya akan diberi amanah untuk memimpin bangsa ini 5 tahun kedepan.

Masa Kampanye pada Pilpres kali ini terasa begitu meriah. Tiga pasangan Capres-Cawapres, yaitu Megawati-Prabowo, SBY-Budiono, dan Jusuf Kalla-Wiranto, berlomba-lomba untuk meraih simpati publik. Jalan-jalan dipenuhi dengan berbagai macam alat peraga kampanye, seperti misalnya spanduk, baliho, umbul-umbul, poster besar, dan lain sebagainya. Situs internet, televisi, radio, ataupun koran, juga dipenuhi dengan iklan-iklan para pasangan Capres-Cawapres, baik yang dilakukan oleh tim suksesnya, ataupun oleh para simpatisan secara pribadi. Semua itu menimbulkan euforia tersendiri, yaitu pengidolaan dan fanatisme terhadap salah satu pasangan tokoh.

Euforia tersebut membuat bangsa ini terfragmentasi secara kaku, walaupun sebenarnya belum menimbulkan perpecahan yang cukup berarti. Contoh yang paling parah mungkin adalah seorang suami di Riau yang tega mencekik dan menjatuhkan talak kepada istrinya akibat berbeda pilihan pada saat mencontreng. Kasus tersebut telah diberitakan dibeberapa media, baik cetak maupun elektronik. Perdebatan yang cukup panas dan saling menyindir oleh setiap pasangan Capres-Cawapres semakin menguatkan fragmentasi tersebut, sehingga harus benar-benar diwaspadai agar tidak berlanjut pada disintegrasi bangsa.

Jika hasil Pilpres sudah diumumkan dan segala permasalahan yang menyertainya sudah benar-benar tuntas, maka itu berarti prosesi Pemilu sudah berakhir. Kalau sudah demikian, maka bangsa ini harus “kembali bersatu” dan tidak boleh menyisakan sedikitpun paradigma “beda pilihan” di dalam hati dan pikiran, dalam arti harus kembali sadar bahwa kita ini adalah bangsa yang satu. Untuk itu, diperlukan rekonsiliasi pasca Pilpres agar bangsa ini tidak terjebak pada perpecahan yang tidak perlu.

Langkah paling awal dalam proses rekonsiliasi adalah bangsa ini harus berlapang dada dalam menerima apapun hasil Pilpres nantinya, entah itu sesuai dengan keinginan masing-masing pribadi atau tidak. Hal ini tidak hanya berlaku untuk tingkat akar rumput saja, tetapi meliputi semua kalangan, termasuk juga para elite politik dan pasangan Capres-Cawapres yang bertanding dalam Pilpres. Semua diawali dari tingkat atas terlebih dahulu. Pasangan yang kalah harus bisa menerima kekalahannya dan harus berusaha untuk mengajak pihak yang mendukungnya untuk juga menerima kekalahan tersebut, jangan justru mengerahkan pendukungnya untuk mengacaukan keadaan pasca Pilpres.

Mungkin kita harus banyak belajar pada Pemilu Presiden Amerika Serikat yang lalu, dimana pada saat kampanye, calon Presiden banyak melakukan debat dan berusaha untuk saling menjatuhkan. Tetapi ketika akhirnya Barack Obama keluar sebagai pemenangnya, pihak yang kalah mau mengakui kekalahannya dengan kebesaran hati dan sikap kesatria, dan bahkan memberikan selamat secara langsung kepada Obama dengan sikap yang penuh kehangatan. Masih teringat dalam ingatan kita bagaimana John McCain dalam pidato kekalahannya tidak mengarah kepada kepentingan pribadi ataupun partai, tetapi berbicara untuk kepentingan rakyat Amerika semata.

Berlapang dada dalam menyikapi hasil Pilpres bukan berarti melupakan sama sekali dan menerima begitu saja segala kekurangan yang ada dalam proses Pilpres, seperti misalnya masalah kacaunya DPT. Bagaimanapun juga permasalahan tersebut harus dikaji dan disoroti secara serius, yaitu sebagai bahan pembelajaran agar permasalahan yang sama tidak terulang lagi pada Pilpres berikutnya.

Berlapang dada hanya diniatkan untuk satu hal, yaitu kondisi negara yang stabil dan kondusif agar setiap pihak dapat menjalankan tugasnya masing-masing dengan maksimal. Pemerintah bekerja untuk mencapai kesejahteraan rakyat, dan pihak oposisi juga mengendalikan jalannya pemerintahan agar tetap berada pada jalurnya. Jika semua dapat berjalan dengan seimbang, maka niscaya bangsa ini juga akan semakin maju dan berkembang. Semoga!

****

Telah dimuat di Harian Jogja, rubrik Suara Mahasiswa, Selasa 14 Juli 2009.

Leave a comment