Menjaga Syarat Sukses KPK

KPK yang merupakan aktor utama pemburu para koruptor, kini sedang melemah akibat berbagai permasalahan yang menimpanya. Praktis laju pemberantasan korupsi di negeri ini pun kian melambat dan tersendat.

Masalah yang menimpa KPK dimulai dari ditetapkannya Antasari Azhar sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan Nasruddin Zulkarnaen, Direktur PT Putra Rajawali Banjaran. Kemudian menyusul dua pimpinan KPK lainnya, yaitu Chandra Hamzah dan Bibit Samad Riyanto yang tersandung kasus penyalahgunaan wewenang.

Dua kasus ini kemudian “memaksa” Pemerintah mengeluarkan Perppu No 4/2009 sebagai revisi UU No 30/2002 tentang KPK, untuk dijadikan dasar dalam mengisi kepemimpinan yang kosong. Hal ini pun masih kontroversial, sebab KPK berpotensi kehilangan independensinya. Perppu tersebut dikhawatirkan akan menjadi alat bagi Presiden untuk memengaruhi dan mengontrol kerja KPK.

Sebelumnya KPK juga sudah berada di ujung tanduk karena beberapa hal, yaitu pembahasan RUU pengadilan Tipikor yang berlarut-larut dan penuh kontroversi. Padahal RUU Pengadilan Tipikor sangat penting untuk segera disahkan demi menjaga eksistensi KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi yang handal. Semua itu pada akhirnya membuat KPK semakin lemah, sungguh kontras dengan KPK di masa sebelumnya yang powerfull dan sarat prestasi.

Celakanya, masalah yang menimpa KPK tersebut disinyalir merupakan serangan balik para koruptor (corruptors fight back) serta buah usaha dari sejumlah pihak yang tidak suka dengan keberadaan KPK. Tujuan utama serangan itu sendiri adalah minimal untuk “mengebiri” kewenangan yang dimiliki KPK, sehingga aksi-aksi korupsi tingkat tinggi tidak akan bisa tergapai. Dengan demikian, para koruptor kelas kakap pun akan aman, jauh dari cekalan dan tuntutan hukum.

Sampai saat ini, nampaknya serangan tersebut sudah cukup membuahkan hasil. Hal itu tercermin dari adanya kabar bahwa Panitia Kerja RUU Pengadilan Tipikor akan menghilangkan kewenangan penuntutan (dialihkan ke Kejaksaan Agung) dan penyadapan yang dimiliki oleh KPK.

Pada dasarnya korupsi merupakan kejahatan luar biasa, dan dengan demikian harus dihadapi dengan kewenangan yang luar biasa pula. Tanpa kewenangan itu, praktis KPK sudah tidak terlalu berguna lagi, sebab tidak akan ada bedanya dengan Polri atau Kejaksaan yang selama ini tidak berdaya menghadapi korupsi. KPK hanya akan serupa nasibnya dengan lembaga pemberantas korupsi yang lebih dulu “mati”. Berdasarkan referensi dari ICW, sudah ada 7 lembaga pemberantas korupsi di Indonesia yang akhirnya kalah melawan koruptor, yaitu Tim Pemberantas Korupsi (1967), Tim Komisi Empat (1970), Komite Anti Korupsi (1970), Tim OPSTIB (1977), Tim Pemberantas Korupsi yang aktif kembali (1982), Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara (1999), dan Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (2000).

Menurut penulis, kewenangan untuk menyidik, menuntut, menangkap, menahan, serta menyadap, merupakan syarat sukses KPK, sehingga harus tetap dijaga keberadaannya. Tanpa salah satu kewenangan tersebut, KPK hanya akan menjadi macan ompong dan menyebabkannya sulit memenuhi tugas utama yang diemban, yaitu memberantas korupsi di negeri ini tanpa pandang bulu, entah itu pengusaha, wakil rakyat, atau petinggi Negara sekalipun.

Namun tentu saja KPK tidak boleh menyalahgunakan kewenangan luar biasa tersebut. Untuk itu, harus ada proses evaluasi berkala agar tidak terjadi penyelewengan. Memang, kekuasaan yang absolut berpotensi menimbulkan pelanggaran dan korupsi, dan hal ini juga berlaku terhadap KPK.

****

Telah dimuat di Koran Seputar Indonesia, rubrik Suara Mahasiswa, Senin 5 Oktober 2009.

Link: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/274291/

Leave a comment